makalah etika bisnis islam tentang peran pemerintah dalam menetapkan norma dan akhlak dalam ekonomi islam
MAKALAH
PERAN PEMERINTAH DALAM MENETAPAKAN NORMA DAN AKHLAK DALAM
EKONOMI ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu :Nurul Hidayati, M.S.I
Disusun Oleh:
1.
Anis Sa’adah (1320210334)
2.
Enny Mukaromah (1320210344)
3.
Nuril Agustina (1320210364)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH
DAN EKONOMI ISLAM
EKONOMI SYARIAH
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Islam memiliki konsep
negara, pemerintahan dan kesejahteraan ekonomi yang komprehensif. Dalam Islam
institusi negara tidak lepas dari konsep kolektif yang ada dalam landasan moral
dan syariah Islam. Konsep ukhuwah, konsep tausiyah, dan konsep khalifah
merupakan landasan pembangunan institusi Islam yang berbentuk Negara. Imam Al
Ghazali menyebutkan bahwa agama adalah pondasi atau asas, sementara kekuasaan,
dalam hal ini Negara, adalah penjaga pondasi atau asas tadi. Sehingga ada
hubungan yang saling menguntungkan dan menguatkan (simbiosis mutualisme). Di
satu sisi agama menjadi pondasi bagi Negara untuk berbuat bagi rakyatnya menuju
kesejahteraan. Sementara Negara menjadi alat bagi agama agar ia tersebar dan
terlaksana secara benar dan efisien.
Nejatullah Siddiqi
menegaskan bahwa masyarakat tidak akan dapat diorganisir atau diatur
menggunakan prinsip-prinsip Islam kecuali menggunakan Negara sebagai media.
Dalam Islam ada beberapa ketentuan yang dijalankan oleh pemerintah dari sebuah
Negara seperti implementasi mekanisme zakat, ketentuan pelarangan riba.
Pentingnya peran Negara dalam efektivitas implementasi prinsip syariah pada
setiap sisi kehidupan juga disinggung oleh Yusuf Qordhowi dalam buku beliau
yang berjudul Fikih Daulah, dimana dalam buku beliau dijelaskan bahwa dengan
adanya Negara maka diharapkan risalah Islam dapat terpelihara dan berkembang
termasuk di dalamnya akidah dan tatanan, ibadah dan akhlak, kehidupan, dan
peradaban, sehingga semua sector kehidupan manusia dapat berjalan dengan
seimbang dan harmoni baik secara materi dan ruhani.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana
peran Negara dalam menerapkan norma dan etika ?
2. Bagaimana
peran Negara dalam masalah zakat dan riba ?
3. Bagaimana
hak masyarakat atas harta yang berlebih ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peran Negara Dalam Menerapkan Norma
dan Etika
Tugas Negara adalah mengubah teori menjadi
kenyataan, mengubah norma-norma menjadi undang-undang, dan memindahkan
keindahan etika menjadi praktek sehari-hari adalah tugas Negara membuat satu
badan khusus yang bertugas mengawasi dan meningkatkan kualitas ekonomi,
mengadili orang yang melanggar, dan menegur orang yang lalai.
Negara bertugas menegakkan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap individu dan mencegah mereka dari segala perbuatan
haram, khususnya dosa-dosa besar.
Allah SWT mensifati orang-orang beriman yang
diteguhkan kedudukannya dimuka bumi dengan firman-Nya dalam QS. Al-Hajj : 41
“(yaitu
orang-orang jika kami teguhkan kedudukan mereka dimuka umi, niscaya mereka
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar”).
B. Peran Negara Dalam Masalah Zakat
dan Riba
Islam melibatkan Negara dalam pengumpulan serta
pembagian zakat. Zakat adalah kewajiban keuangan diperoleh dari orang yang
mampu untuk diberikan kepada kaum fakir miskin. Yang melaksanakan ini semua
adalah pemerintah atau penguasa negeri melalui petugas-petugas atau disebut al-amilina alaiha (amil zakat). Orang-orang
inilah yang bertugas mengurus zakat, mulai dari pendataan, pemungutan,
penyimpanan dan pembagiannya. Nabi telah mengutus amil zakat keseluruh negeri
dan kabilah disemenanjung Arab. Mereka ditugaskan mengambil zakat terutama
hewan bagi yang memiliki batas nisab.
Untuk berhasilnya pengumpulan diperlukan tiga
pengawasan. Pertama, keimanan seorang muslim dan kesadaran keagamaannya, yang
mendorongnya untuk melakukan kewajibannya, karena mendambakan ridha Allah,
mengharap pahala-Nya dan takut akan siksa-Nya.
Kedua,
hati nurani masyarakat yang terwujud dalam opini masyarakat yang disalurkan
oleh amar maruf nahi mungkar dan berpesan dalam kebenaran dan kesabaran.
Pengawasan ketiga dilakukan oleh pemerintah yang
berwenang mengambil zakat. Terhadap mereka yang menolak mengeluarkan zakat,
maka pemerintah diperbolehkan mengambil tindakan paksaan, menyita harta
bendanya dan pemerintah dapat memerangi kaum yang menolak membayar zakat.
Negara sebagaimana bertanggung jawab atas penerapan
zakat, bertangung jawab pula atas larangan riba. Firman Allah yang terdapat
dalam QS. Al- Baqarah :278-279
“hai orang-orang
yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan rosul-Nya akan
memerangimu”.
C.
Hak
Masyarakat Atas Harta Yang Berlebih
Jika kita amati hak – hak yang wajib atas harta
seorang muslim sesudah zakat maka bagi mereka yang hidup berlebih ada kewajiban
dalam alqur’an disebut “alafwu”.
Firman Allah dalam QS. Al- Baqarah :219
“…….Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, yang lebih dari
keperluan (alafwu)”.
Peran pemerintah disini misalnya, adalah
menganjurkan umat dengan cara yang menyentuh perasaan dan keimanan. Bisa juga
lewat penetapan peraturan tanpa paksaan dan juga boleh merampas harta orang
kaya dan menjatuhkan hukuman kalau mereka menolak.
Misalnya, Nabi melarang menyimpan daging kurban
apabila orang –orang sangat membutuhkannya atau kebutuhan mendadak. Beliau
bersabda “aku dahulu melarang sekalian
menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari agar yang punya memberinya kepada
yang tidak punya.Maka kini makanlah secukupnya, simpanlah dan sedekahkan
sebagiannya”.
Terjadinya krisis pangan adalah kebutuhan yang
mengundang fardhunya hak atas harta, seperti larangan menimbun, untuk
persediaan bagi musyafir, peperangan dan kedatangan tamu secara mendadak. Dan
yang lebih penting lagi untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin karena seluruh
rakyat harus menjamin.
Masyarakat muslim adalah masyarakat yang saling
menolong dan saling menyayangi, tidak membiarkan si miskin kalaparan sedangkan
ia sanggup memberinya makan. Termasuk dalam kategori memberi makan dalam ayat
ini adalah memberi sandang, obat, dan kebutuhan pokok lainnya.
Setiap orang beriman dibebani dua kewajiban terhadap
fakir miskin. Pertama, memberi makan dan merawatnya jika ia sanggup. Kedua,
menganjurkan orang lain untuk menyantuni orang miskin jika ia termasuk orang
yang hidupnya pas-pasan dan kalau tidak, maka Allah memasukkannya kedalam
golongan pendusta agama. Seperti
dalam QS. Al-Maun :1-3
“ tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan
orang miskin”.
Adapun Negara, ia berkewajiban memaksa orang yang
mampu untuk menafkahkan sebagian hartanya guna mengentas kemiskinan. Bahkan,
pekerjaan ini merupakan salah satu prioritas kerja pemerintah.
D.
Negara
Adalah Badan Pembimbing Dan Pendidik
Negara bukanlah cambuk yang menakutkan dan
menyeramkan. Negara adalah badan bimbingan dan pendidikan, disamping badan
politik, administrasi, dan penegak undang–undang. Nabi adalah seorang da’i,
guru, panglima perang, dan juga kepala Negara.
Dalam sebuah hadist muttafaqalaihi, Nabi mengutus
Mu’adz bin jabal. Ke Yaman dan para ulama berselisih pendapat, apakah Mu’adz
diutus sebagai gubernur, hakim atau pengajar dan da’i? yang benar, ia merangkap
semua jabatan itu. Mu’adz sewaktu-waktu bertindak sebagai kepala daerah, hakim
dan pada lain waktu sebagai pengajar da’i.
Umar ibnul Khattab pernah melarang orang makan daging secara berlebihan, kadangkala
melarang orang menyembelih hewan pada hari– hari tertentu. Semua itu diawasi
sendiri oleh Umar. Walaupun demikian, ia tetap berperan sebagai seorang
pendidik dan pengajar bagi rakyatnya.
“ apakah slah
seorang dari kamu mau mengikatkan tali perutnya demi untuk (diberikan
makanannya) kepada saudara atau anak pamannya? Apakah setiap kali kamu
menginginkan sesuatu segera kamu membelinya?” kata Umar.
v Nabi Menolak Penetapan Harga
Boleh jadi sebagian orang beralasan bahwa Negara
dalam islam tidak boleh campur tangan dalam masalah ekonomi dengan memaksa
norma dan etika atau menghukum mereka bila melanggarnya (menyimpan).
Alasan mereka adalah hadist yang diriwayatkan oleh
Anas:
“orang –orang
berkata: “ya Rasulullah, harga melonjak tinggi. Maka tentukanlah harga bagi
kami .” Rasullullah menjawab, Allah yang menentukan harga penahan, yang Maha
pelepas dan Maha pemberi Rezeki. Dan aku berharap semoga ketika aku bertemu
Allah dan tidak ada seorangpun yang menuntut dan aku dengan satu kezaliman
dalam masalah harta
dan darah.”
Tidak ada yang menjadikan hadis ini sebagai bukti
tentang pasifnya pemerintah dalam islam dan sikap lepas tangan terhadap
kewajiban menegakkan norma dan etika islam dalam lapangan ekonomi.
Hadist ini hanya menunjukan kepada kita bahwa peran
pemerintah adalah melepaskan harga pasar sesuai dengan situasi dan kondisi. Pemerintah
tidak dibenarkan memihak, baik kepada pembeli (dengan memaksakan harga terhadap
penjual) atau berpihak kepada penjual (dengan menetapkan harga yang tidak
terjangkau oleh pembeli). Menurut Nabi, sikap ini adalah suatu tindakan tercela
sehingga beliau tidak mau melakukannya agar saat bertemu dengan Allah, beliau
tidak membawa beban tuntutan itu.
Menurut Asy-syaukani, hadits ini menjadi landasan
bahwa penentuan harga itu haram atau suatu tindakan zalim. Logikanya, manusia
bebas menggunakan harta mereka, sedangkan penentuan harga menghambat hal itu. Sementara
itu, pemimpin harus menjaga kemaslahatan semua pihak. Ia wajib menyelesaikan
masalah ini lewat ijtihad dan musyawarah antara dua pihak.
Ibnu Taimiyyah mempunyai gagasan bahwa penentuan
harga mempunyai dua bentuk: ada yang boleh dan ada yang haram. “ tas’ir ada yang lazim, itulah yang
diharamkan dan ada yang adil, itulah yang dibolehkan,” katanya didalam buku
al-Hisbah.
Jika penentuan harga dilakukan dengan memaksa
penjual menerima harga yang tidak mereka ridhoi, maka tindakan ini tidak
dibenarkan oleh agama. Namun, jika penetuan harga itu menimbulkan suatu
keadilan bagi seluruh masyarakat,
seperti menetapkan undang-undang untuk tidak menjual di atas harga resmi, maka
hal ini di perbolehkan.
Ada
sejumlah dalil untuk menguatkanya. Dalil pertama adalah hadist yang di
riwayatkan Anas tersebut. Jika pedagang menjual sesuai dengan aturan main
tetapi harga tetap naik karena sedikitnya barang dan banyaknya permintaan (sesuai
dengan hokum jual beli) maka hal ini kita kembalikan kepada Allah. Jika
pemerintah memaksa pedagang dengan menetapkan harga menurut kehendak mereka, ini
adalah tindakan yang tidak adil.
Dalil ke dua, jika pedagang menahan suatu barang
sementara pembeli membutuhkannya dengan maksud agar pembeli mau membelinya
dengan harga dua kali lipat harga pertama. Dalam kasus ini, para pedagang
secara suka rela harus menerima penetapan harga oleh pemeritah. Pihak yang berwewenang
wajib menetapkan harga itu. Dengan demikian, penetapan harga ialah wajib
dilakukan agar pedagang menjual dengan harga yang sesuai demi tegaknya keadilan
sebagaimana diminta oleh Allah.
v Larangan Terhadap Monopoli
Menurut Ibnu Taimiyyah, penetapan harga diperlukan
untuk mencegah manusia menjual makanan dan barang lain hanya kepada kelompok
tertentu dengan harga ditetapkan sesuka hati.
Ini merupakan kedzaliman dimuka bumi. Demi
tercapainya kemaslahatan wajib diterapkan penetapan harga.
“sesungguhnya
kemaslahatan manusia belum sempurna kecuali dengan penetapan harga. Yang
demikian itu perlu dan wajib diterapkan secara adil dan bijaksana,” kata
Ibnu Taimiyah.
Dengan demikian maka pemerintah, masyarakat, dan
individu berperan aktif untuk menerapkan norma dan etika dalam ekonomi islam.
Caranya adalah dengan menanamkan moral dan etika pada diri masyarakat. Semua
pihak bertanggung jawab umtuk meningkatkan produksi, membimbing konsumen, dan
mendistribusikan barang dengan adil.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Peran
Negara adalah mengubah teori menjadi kenyataan, mengubah norma-norma menjadi
undang-undang, dan memindahkan keindahan etika menjadi praktek sehari-hari.
Adalah tugas Negara membuat satu badan khusus yang bertugas mengawasi dan
meningkatkan kualitas ekonomi, mengadili orang yang melanggar, dan menegur
orang yang lalai.
2. Islam
melibatkan Negara dalam dalam pengumpulan serta pembagian zakat. Zakat adalah
kewajiban keuangan diperoleh dari orang yang mampu untuk diberikan kepada kaum
fakir miskin. Yang melaksanakan ini semua adalah pemerintah atau penguasa
negeri melalui petugas-petugas atau disebut al-amilina
alaiha (amil zakat). Orang-orang inilah yang bertugas mengurus zakat, mulai
dari pendataan, pemungutan, penyimpanan dan pembagiannya.
3.
Masyarakat muslim adalah masyarakat yang
saling menolong dan saling menyayangi, tidak membiarkan si miskin kelaparan
sedangkan ia sanggup memberinya makan. Setiap orang beriman dibebani dua kewajiban
terhadap fakir miskin. Pertama, memberi makan dan merawatnya jika ia sanggup.
Kedua, menganjurkan orang lain untuk menyantuni orang miskin.
Daftar
Pustaka
Qardawi Yusuf, Norma
Dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
Komentar
Posting Komentar